Kesehatan,
Kebocoran Ginjal Sering Tak Disadari, Orang Tua Perlu Rutin Cek Urine Anak Setiap Tahun - Halaman all

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Sindrom nefrotik atau yang dikenal masyarakat sebagai kebocoran ginjal, masih menjadi penyakit yang misterius di kalangan anak-anak.
Sindrom nefrotik adalah kondisi di mana ginjal tidak menyaring darah sebagaimana mestinya, sehingga protein bisa keluar bersama urine.
Meskipun tergolong tidak sering terjadi, penyakit ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi orang tua karena sebagian penderitanya tampak sehat tanpa gejala.
Menurut Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Ahmedz Widiasta, Sp.A, Subsp.Nefro(K),M.Kes mengatakan, untuk gejala yang terlihat adalah bengkak yang berawal di kelopak mata, urine yang berbusa, dan terkadang volume urine berkurang.
"Tetapi ada pula yang sulit dilihat. Nah, yang tidak terlihat itulah yang lebih berbahaya," kata dr. Ahmedz dalam seminar daring bertema 'Sindrom Nefrotik atau Kebocoran Protein Pada Anak' pada Selasa (8/7/2025).
Dr. Ahmedz kembali mengatakan, bahwa sindrom nefrotik pada anak sebagian besar bersifat idiopatik, yakni tidak diketahui penyebab pastinya. Namun, dampaknya bisa berbahaya, terutama jika tidak terdeteksi sejak dini.
Bahkan, IDAI pernah melakukan suatu studi pada sebuah sekolah menengah atas di Jawa Barat. Dari 1280 siswa, sebanyak 160 siswa mengalami proteinuria atau kondisi protein lolos dalam urine. Padahal secara fisik kondisi anak tersebut terlihat sehat.
"Artinya, sekitar 12 persen dari siswa yang ada di sekolah tersebut sebetulnya mengalami sindrom nefrotik. Tapi tidak ketahuan,” ujar Dr. Ahmedz.
Sementara itu, ada gejala sindrom nefrotik yang perlu pemeriksaan medis, yaitu jumlah protein dalam urine tinggi dan kadar albumin darah yang rendah.
Inilah yang terjadi ketika ginjal bocor
Penyakit ginjal bocor ini menyebabkan kandungan protein dalam darah yang seharusnya kembali ke dalam tubuh banyak keluar bersamaan dengan urine.
Dr. Ahmedz menyebut kondisi ini terjadi saat bagian terkecil dari ginjal bernama glomerulus yang merupakan tempat seluruh darah dalam tubuh disaring sebelum diberedarkan kembali ke seluruh bagian tubuh mengalami kerusakan.
"Dalam keadaan bocor ginjal, darah di sini (glomerulus) dibersihkan, tapi proteinnya yang seharusnya beredar kembali dalam darah, dikeluarkan ke urin," ujarnya.
Akibatnya, darah yang kembali beredar adalah darah yang hanya memiliki kandungan protein yang sedikit.
"Karena sedikit protein, maka tekanan onkotik di dalam pembuluh darah menjadi berkurang," katanya.
Berkurangnya tekanan onkotik atau tekanan di dalam tubuh yang fungsinya menahan cairan dalam darah agar tidak keluar jaringan.
Membuat cairan dalam pembuluh darah berpindah ke rongga-rongga lain, seperti ke rongga perut, rongga paru, rongga jantung, hingga ke bawah kulit. "Pembuluh darah yang sedikit cairannya itu menyebabkan suatu keadaan yang namanya volume depletion," kata dr. Ahmedz.
Dia juga mengatakan jika terus terjadi volume depletion atau keadaan di mana cairan di dalam pembuluh darah berkurang secara signifikan ini akan menyebabkan darah yang bergerak ke seluruh tubuh berkurang.
Risiko jangka pendek dan panjang
Dr. Ahmedz menjelaskan, bahaya jangka pendek dari sindrom nefrotik mencakup risiko syok, gangguan ginjal akut, hingga gangguan pernapasan.
Sedangkan dalam jangka panjang, anak berisiko mengalami penyakit ginjal kronik bahkan hingga stadium akhir yang memerlukan cuci darah seumur hidup.
“Kalau protein terus-menerus bocor, maka struktur ginjal akan berubah secara mikroskopis dan menjadi kaku. Ini membuat ginjal kehilangan fungsinya secara permanen,” paparnya.
Skrining urine rutin
Untuk mendeteksi dini sindrom nefrotik, Dr. Ahmedz menyarankan agar anak-anak melakukan skrining urin setidaknya satu kali setiap tahun sejak usia tiga tahun.
Meski sebagian besar kasus sindrom nefrotik pada anak tergolong idiopatik, beberapa peneliti kini masih menelusuri kemungkinan kaitan dengan faktor epigenetik, seperti perubahan ekspresi gen akibat lingkungan, paparan virus, atau bahkan pola makan. Namun, belum ada kesimpulan ilmiah pasti.
“Masyarakat sering bertanya makanan apa yang menyebabkan kebocoran ginjal, tapi sejauh ini belum ada bukti kuat. Penelitian masih berlangsung,” tutur Dr. Ahmedz.
Batuk pilek, diare dan gigi berlubang picu kekambuhan sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik kerap menimbulkan kekambuhan berulang yang bisa memperburuk kondisi pasien. Ironisnya, pemicu utama kekambuhan sering kali berasal dari infeksi ringan seperti batuk pilek, diare, hingga masalah gigi berlubang yang dianggap sepele oleh banyak orang tua.
Dr. Ahmedz menekankan bahwa kekambuhan sindrom nefrotik pada anak tidak selalu terjadi, namun bila muncul berulang, bisa berdampak serius pada fungsi ginjal anak.
“Sebagian besar kasus sindrom nefrotik hanya mengalami kekambuhan jarang. Namun, ada juga yang sering kambuh. Dan yang sering kambuh ini umumnya dipicu oleh infeksi saluran pernapasan akut seperti batuk pilek, infeksi virus seperti diare, serta gigi berlubang,” jelasnya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, ditemukan bahwa kekambuhan sindrom nefrotik yang sering pada anak-anak paling banyak disebabkan oleh infeksi ringan yang berulang dan tidak tertangani dengan baik, serta masalah gigi yang diabaikan.
“Gigi berlubang, misalnya, sering tidak dianggap sebagai masalah serius. Padahal, infeksi yang berasal dari sana bisa memicu kekambuhan. Demikian juga dengan batuk pilek dan diare, terutama jika tidak segera ditangani secara tepat,” tegasnya.
Pengobatan
Sekitar 80 persen kasus sindrom nefrotik pada anak menunjukkan respons baik terhadap pengobatan dengan steroid.
Namun, terdapat 20 persen lainnya yang tidak memberikan respons atau mengalami resistensi obat. Ironisnya, ada anak yang awalnya sensitif terhadap obat namun menjadi resisten akibat pengobatan yang tidak sesuai anjuran medis.
“Banyak orang tua yang saat anaknya bengkak langsung memberikan obat yang biasa diberikan sebelumnya, lalu menghentikan ketika bengkak menghilang. Ini salah kaprah dan bisa menyebabkan kondisi anak makin memburuk,” tegasnya.
Gaya hidup sehat dan menjaga kebersihan
Untuk mencegah kekambuhan sindrom nefrotik yang berulang, dr. Ahmedz mendorong perbaikan gaya hidup sehat dan lingkungan bersih pada anak.
Ia menyarankan agar prinsip 5M yang diterapkan saat masa pandemi seperti mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak tetap diterapkan terutama pada anak-anak dengan riwayat sindrom nefrotik.
“Kebersihan diri dan lingkungan sangat krusial. Infeksi kecil bisa menjadi pemicu besar bagi anak-anak penderita sindrom nefrotik. Maka, edukasi orang tua dan peran sekolah dalam menjaga kesehatan anak sangat dibutuhkan,” tandasnya.
0 Komentar