Kesehatan
Hypeabis - Bukan Sekadar Panas: Perubahan Iklim Picu Ledakan Kasus DBD dan TB

Perubahan iklim tak hanya bikin bumi makin gerah, tapi juga menciptakan ‘rumah baru’ bagi para pembawa penyakit. Kenaikan suhu dan pola hujan yang makin sulit diprediksi jadi faktor utama meledaknya penyakit menular, salah satunya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Di Indonesia, DBD punya pola siklus musiman yang biasanya melonjak di musim hujan. Namun belakangan, kasusnya malah muncul di luar musim. Penyebabnya? Suhu panas memperpanjang umur nyamuk dan memperluas area penyebarannya.
Baca juga: Jurus Jitu Mencegah Anak Terserang ISPA Hingga DBD saat Musim Pancaroba
Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono, menegaskan nyamuk bukan sekadar serangga pengganggu. “Bukan hewan buas yang jadi penyebab kematian terbanyak, melainkan nyamuk. Gigitan kecilnya bertanggung jawab atas jutaan kematian setiap tahun,” ujarnya.
Secara global, dengue mengancam lebih dari 3,9 miliar orang. Indonesia masuk daftar merah bersama Brasil, Kolombia, Meksiko, Peru, dan Vietnam sebagai negara dengan kasus tertinggi.
Tahun 2024 jadi rekor suram, dengan lebih dari 1.400 kematian akibat DBD. Awal 2025, kasusnya melonjak lagi, naik lebih dari 40 persen dibanding tahun sebelumnya. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan jadi provinsi dengan kasus tertinggi. Sampai Mei 2025, Kemenkes mencatat 56.000 lebih kasus DBD dengan 250 kematian.
Selain DBD, penyakit Chikungunya juga mesti diwaspadai. Meski jarang mematikan, virus ini bikin penderitanya merasakan nyeri sendi berbulan-bulan.
Pemerintah pun gerak cepat. Program satu rumah satu juru pemantau jentik (Jumantik), fogging, inovasi nyamuk Wolbachia, sampai pengembangan vaksin terus dikebut. Targetnya, angka kematian akibat dengue bisa ditekan sampai nol di 2030.
“Ini butuh kolaborasi nyata antar-stakeholder, organisasi profesi, dan pembuat kebijakan,” tegas Dante.
Ancaman Tak Hanya dari Nyamuk
Masalahnya, dampak perubahan iklim bukan cuma memperparah DBD. Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuktikan, suhu panas, cuaca ekstrem, dan penurunan kualitas air juga mendorong lonjakan penyakit lain, termasuk tuberkulosis (TB).Peneliti Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) BRIN, Dianadewi Riswantini, memaparkan riset timnya soal sebaran TB di Jawa Barat. Mereka mengolah data BPJS, BPS, Open Data, dan data iklim Copernicus Climate sepanjang 2019–2022.
Hasilnya, Kabupaten Karawang, Majalengka, dan Kuningan punya interaksi spasio-temporal yang kuat sebagai kantong TB baru. Lewat studi Climate Epidemiology, tim BRIN ingin membantu pemerintah memahami dan mengantisipasi risiko kesehatan akibat perubahan iklim.
“Hasil riset ini diharapkan jadi masukan untuk merumuskan strategi adaptasi agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga,” jelas Diana.
Selain penyakit akibat vektor nyamuk seperti malaria, DBD, dan chikungunya, cuaca ekstrem juga memicu gangguan pernapasan seperti asma dan alergi. Belum lagi penyakit tifus, kolera, diare, gangguan gizi, bahkan masalah kesehatan mental juga meningkat seiring kondisi lingkungan yang makin tak stabil.
“Paparan panas ekstrem juga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan stroke yang bisa berujung kematian,” tambahnya dalam webinar Digital Epidemiology: Transformasi Kajian Kesehatan dengan Sains Data, Mei lalu.
Riset ini juga memetakan faktor-faktor yang memengaruhi lonjakan TB, seperti curah hujan, kelembapan, kepadatan penduduk, akses air bersih, sanitasi, tingkat kemiskinan, sampai tingkat partisipasi angkatan kerja.
“Dengan pendekatan ini, kami berharap pemerintah daerah bisa menetapkan prioritas wilayah intervensi kesehatan dan merancang strategi adaptasi yang lebih tepat sasaran,” pungkas Diana.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
0 Komentar